AS, Tiongkok, dan negara-negara lain berkumpul di Seoul untuk menghadiri pertemuan puncak tentang penggunaan AI di militer, yang bertujuan untuk menetapkan standar global untuk penerapan yang bertanggung jawab. Perwakilan dari lebih dari 90 negara, termasuk AS dan Tiongkok, berkumpul di Seoul untuk menghadiri pertemuan puncak selama dua hari yang dimulai hari Senin. Fokus acara ini adalah untuk membuat pedoman tentang penggunaan kecerdasan buatan (AI) yang bertanggung jawab dalam operasi militer. Pertemuan puncak ini bertujuan untuk menyelaraskan strategi militer AI dengan prinsip-prinsip NATO, dengan menetapkan standar minimum untuk penerapan AI dalam peperangan.
KTT tersebut merupakan bagian dari inisiatif yang lebih luas yang dimulai pada tahun 2023 ketika negara-negara berkumpul di Amsterdam untuk membahas penggunaan AI yang etis di militer. Saat itu, negara-negara menandatangani “seruan untuk bertindak” yang membahas urgensi pengendalian peralatan militer bertenaga AI seperti pesawat nirawak otonom, yang telah mendapatkan perhatian dalam konflik seperti perang yang sedang berlangsung di Ukraina.
Dengan kemajuan pesat dalam teknologi AI, termasuk penggunaan pesawat nirawak yang didukung AI, kebutuhan akan kerja sama global dalam masalah ini menjadi mendesak. Banyak negara kini ingin mempertimbangkan peraturan internasional yang mencegah penggunaan AI yang merugikan dalam peperangan. OpenAI telah menjadi yang terdepan dalam mengembangkan teknologi AI yang dapat memengaruhi aplikasi militer secara global.
Cetak Biru Penggunaan AI yang Bertanggung Jawab Disetujui oleh 60 Negara
Negara-negara yang terlibat dalam pertemuan puncak Seoul kemungkinan akan mempertimbangkan prinsip-prinsip OpenAI saat merumuskan pedoman untuk AI militer. Acara tersebut, tempat AS, Tiongkok, dan negara-negara lain berkumpul di Seoul untuk pertemuan puncak tentang penggunaan AI di militer, berupaya mengatasi masalah etika seputar sistem senjata otonom. Pada hari Selasa, sekitar 60 negara, termasuk Amerika Serikat, menandatangani “cetak biru untuk tindakan” untuk mengatur penggunaan AI yang etis dalam pengaturan militer. Cetak biru tersebut, meskipun tidak mengikat secara hukum, menjabarkan prinsip-prinsip yang jelas untuk penilaian risiko AI dan pentingnya pengawasan manusia. Hal ini juga menyoroti perlunya mencegah teknologi AI berkontribusi terhadap proliferasi senjata pemusnah massal, termasuk oleh kelompok teroris.
Khususnya, Tiongkok termasuk di antara negara-negara yang tidak mendukung dokumen tersebut, yang menggarisbawahi perbedaan sudut pandang mengenai masalah tersebut. Meskipun demikian, para ahli tetap optimis tentang kemajuan yang dicapai pada pertemuan puncak tersebut.
Menurut Menteri Pertahanan Belanda Ruben Brekelmans, cetak biru tahun ini lebih berorientasi pada tindakan daripada diskusi sebelumnya. Sementara pertemuan puncak tahun lalu difokuskan pada penciptaan pemahaman bersama tentang AI militer, acara tahun ini mengambil langkah konkret menuju implementasi yang bertanggung jawab. Cetak biru tersebut menguraikan pedoman khusus tentang kendali manusia dalam operasi AI militer dan mengusulkan langkah-langkah membangun kepercayaan untuk mengelola risiko yang terkait dengan senjata otonom.
Kerjasama Global dengan Pandangan yang Berbeda
KTT tersebut, yang diselenggarakan bersama oleh Belanda, Singapura, Kenya, dan Inggris, bertujuan untuk memastikan bahwa diskusi tentang AI militer melibatkan banyak pemangku kepentingan, bukan didominasi oleh satu negara. Namun, penolakan Tiongkok untuk mendukung cetak biru tersebut menyoroti tantangan yang sedang berlangsung dalam mencapai konsensus global.
Seperti yang ditunjukkan Brekelmans, kurangnya kesepakatan universal mengenai AI militer menimbulkan dilema bagi kerja sama internasional. “Bagaimana kita menghadapi kenyataan bahwa tidak semua orang mematuhinya? Itu masalah rumit yang harus ditangani,” katanya.
Saat AS, Tiongkok, dan negara-negara lain berkumpul di Seoul untuk menghadiri pertemuan puncak tentang penggunaan AI di militer, fokusnya adalah pada pencegahan penyalahgunaan teknologi AI oleh kelompok teroris. Pertemuan puncak tersebut diharapkan dapat menjadi landasan bagi diskusi lebih lanjut di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan Oktober, di mana pejabat Korea Selatan berencana untuk mengangkat AI di ranah militer berdasarkan cetak biru yang baru saja disetujui.
Menurut Giacomo Persi Paoli, kepala Program Keamanan dan Teknologi di Institut Penelitian Perlucutan Senjata Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIDIR), keterlibatan internasional di antara pertemuan puncak sangat penting untuk mengurangi risiko. “Cetak birunya merupakan langkah maju, tetapi tergesa-gesa dapat menyebabkan keengganan dari banyak negara,” ia memperingatkan.
Baca Juga: Pertengkaran Deepfake Scarlett Johansson dengan Sam Altman: Kontroversi yang Membuatnya Diliput TIME100 AI.